Minggu, 04 Oktober 2020

Balapan 40 km/jam

Tertinggal di lampu merah pertama tak membuatku terburu untuk mengejar si jingga. Jalanan di sepanjang rute menuju lampu merah berikutnya pun tidak mulus. Sehingga aku mengendarai si biru dengan hati-hati, berusaha menghindari cekungan tak beraturan yang menghiasi jalanan.

Lampu merah kedua pun terlihat. Penghitung mundurnya membuatku tersenyum bahagia. Kulihat si jingga tak berkutik di belakang kendaraan lainnya. Aku berencana membawa si biru ke arah kanan melewati mobil dan motor yang terdiam menunggu lampu hijau menyala. Sesuai perkiraanku, si biru bisa melewati si jingga tepat di saat lampu kuning menggantikan lampu merah, bahkan menjadi yang pertama meninggalkan lampu merah kedua di rute lomba.

Kami pun tertawa bahagia.

Ku rasa Pembalap Profesional tak akan bisa tertawa selepas ini disaat berhasil menyalip lawannya saat berlomba, karna masih terganjal beban untuk tetap memimpin posisi hingga gelar juara berhasil disandangnya.

Aku tak berniat menjadi juara, tapi bocil yang ku bonceng dan juga bocil yang ada di atas si jingga tak ada yang mau kalah. Jadi dengan santai si biru tetap kulajukan dengan kecepatan di bawah 40km/jam. Saat mendekati gapura, kubiarkan si jingga dengan mudah melewati si biru dari sisi kiri.

Sorak sorai gembira terdengar dari pengendara si jingga.

Memasuki belokan ke kiri pertama setelah melewati gapura, kupacu si biru mendekati si jingga. 

"Jangaaaannnn!" Teriakan itu terdengar, memintaku untuk tidak memenangkan lomba.

Tentu saja aku mengalah, tapi bukan untuk kalah. Kuatur kecepatan si biru agar kami bisa memasuki gerbang mess bersama-sama. Aku pikir itu akan menjadi hasil akhir yang tidak akan mengecewakan para bocil. Tapi kemudian, teteh yang menginjak remaja segera turun dari si biru dan berlari cepat, menjadi yang pertama masuk kedalam rumah. 

Dan bocil di motor jingga pun kecewa...

Dia turun, merajuk, dengan mata berkaca menyembunyikan diri dibawah selimut dan bersender ke lemari kaca. Adiknya menyusul, menarik selimut yang sama, tak terima kakaknya "main kemah" sendirian saja.

Menang, kalah atau seri, ternyata endingnya tak jauh beda. Memang butuh waktu untuk menetralisir kenyataan yang tak sesuai harapan. Tapi itu tak membuat kami kapok. Saat ada kesempatan, balapan liar terjadi secara spontan. Rute yang sama tidak lagi menjemukan saat ada tantangan untuk menyalip lawan di tengah perjalanan. 

Tidak mau kalah tentu merupakan hal yang biasa menjangkiti manusia saat usia balita hingga menjelang tutup usia. Namun, akan ada waktu, saat kita menyadari... menikmati perjalanan dengan bahagia, jauh lebih berharga dari sekedar label juara. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar