Sabtu, 28 November 2020

Kaum Tengah

Jepret. 

Bunyi tombol power TV tabung yang dimatikan seolah menyuarakan hati yang kesal karna mata tak lagi diperkenankan menonton serial yang beberapa menit lagi akan selesai.

Kaki pun terpaksa dilangkahkan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu karna telinga sudah gatal mendengarkan omelan.

Gebruk.

Bunyi sapu lidi yang dipukulkan ke kasur saat kami tak jua beranjak ke kamar mandi saat azan telah berkumandang. Efek habis mendengarkan kisah horror membuat kaki lebih berat untuk beranjak dari tempat tidur. Tapi dengan adanya sabetan sapu lidi, mau tak mau, secepat kilat kami berwudhu kemudian berteriak karna mengkhayalkan ada penampakan di jendela kamar mandi.

Seusai shalat maghrib, aku dan kakakku duduk di ruang tengah, bergantian kami membaca Al-Qur'an disimak oleh nenek yang masih mengenakan mukena dan tak ketinggalan kacamata plus andalannya.

***

Trektektektektektek.

Bunyi waluh (labu siam) yang sedang diiris setelah dibuang kulitnya. Kami cuma nimbrung saat waluh dibagi menjadi 2 kemudian digesekkan satu dengan yang lainnya dengan gerakan memutar untuk dikeluarkan getahnya.

Setelah semua waluh diiris, waluh akan dicuci kemudian ditiriskan. Kami yang iseng terkadang menyiram kembali waluh yang sedang ditiriskan. Saat nenek marah karna waluhnya lebih lambat tuus (kering), kami tidak bisa mengelak karna terlihat di baskom tempat penampungan air tirisan, volume airnya lebih banyak dari biasanya.

Dekgledek.

Bunyi adonan kulit karoket yang sedang nenek buat dengan menggunakan baskom seng yang alasnya tidak lagi rata. Setelah adonan jadi, kami cuma bisa bantu membantuk adonan menjadi seukuran bulatan bakso yang disusun di lodor (piring berbentuk lonjong).

Dini hari nenek sudah bangun. Setelah shalat malam, nenek menyiapkan semua bahan untuk membuat karoket di meja dapur. Saat kami ke dapur di pagi hari, meja dapur telah dilapisi plastik. Diatasnya berjejer karoket yang siap digoreng. Di pojok kanan meja, ada satu wajan besar tumis waluh campur mihun sebagai isian karoket. Di antara meja dan kompor nenek berdiri, mengenakan daster berlengan pendek, tangannya dengan cekatan melempengkan adonan bulatan bakso, menaroh sesendok tumisan, melipat dan menggulungnya kemudian menjejerkannya di meja. 

Saat minyak goreng telah panas, nenek menjumput beberapa karoket sekaligus dan memasukkannya ke wajan. Sambil membentuk karoket, nenek membolak balikan karoket di wajan agar matangnya merata. Tak jarang tangan nenek terkena cipratan minyak panas sehingga timbul bercak-bercak kecoklatan.

Karoket yang sudah jadi dititipkan di warung Ci Ros, juga diedarkan oleh emak-emak yang biasa berjualan gorengan keliling.

Saat sore hari terkadang kami diminta untuk mengambil keranjang wadah karoket di warung Ci Ros. Walau tidak setiap hari karoketnya habis, sambal karoket nenek yang rasanya khas sering kali lebih cepat habis dibanding karoketnya. Nenek akan membagikan secara gratis karoket sisa hari itu buat siapapun yang mau.

***

Allahu Akbar

Allahu Akbar

Allahu Akbar

Laa Ilaaha Illallah 

Wallahu Akbar

Allahu Akbar

Walillahilhamd


Saat Hari Raya Idul Fitri tiba, kami selalu menyambutnya dengan penuh antusias.

Teringat makanan istimewa yang dihidangkan pada hari pertama sahur agar semangat berpuasa.

Teringat serunya ngabuburit yang malah berujung batal puasa. Jadi ceritanya, kami sekeluarga bermain "cangkul" di ruang depan. Aku yang menonton serunya permainan berinisiatif menyediakan minuman (cuma beberapa gelas air putih yang disusun di nampan). Sama sekali lupa kalau hari itu sudah mulai bulan puasa. Saat minuman dihidangkan semua serempak bilang "pan nuju saum" sambil tertawa. Aku yang malu langsung menangis dan akhirnya disuruh ibu buka puasa duluan. 

Teringat saat shalat tarawih, mata tak kuat  menahan kantuk sampai tertidur di saat sujud.

Teringat saat belanja baju dan makanan untuk lebaran, Aa menangis karna mau buka puasa duluan.

Setelah melewati beberapa Ramadhan, akhirnya kami bisa "cacap" (ga bolong/bocor/batal puasa). Alhamdulillah...

Pada Hari Kemenangan, kami bangun pagi, mandi bergantian, pakai baju baru dan bersiap pergi ke Lapang Merdeka.

Kami berangkat bersama, berjalan kaki menyusuri gang, melewati belakang Masjid Agung, belakang alun-alun, kemudian berpisah antara jama'ah laki-laki dan jama'ah perempuan.

Setelah Lapang Merdeka penuh jama'ah sampai ke jalanan, shalat pun dimulai.

Takbir pertama telah dikumandangkan. Takbir kedua menyusul tak lama kemudian. Saat pertama kali Shalat Id, aku langsung ruku' setelah mendengar takbir kedua. Bibiku spontan bilang "hush" baru aku tersadar kalau ternyata belum saatnya untuk ruku'.

Selesai shalat dan mendengarkan khutbah, kami bersalaman kemudian pulang dengan menggunakan jalan yang berbeda. Kali ini melewati depan alun-alun, depannya Masjid Agung, Bank Jabar, Bank BCA, baru belok ke pasar kaum.

Sesampainya di rumah nenek, setelah semua anak cucu nenek berkumpul, kami saling bermaafan sampai air mata bercucuran...

Dilanjutkan silaturahim ke tetangga dan saudara yang rumahnya tidak terlalu jauh.

Paling seru kalau silaturahim ke saudara yang tinggal di Gegerbitung dan Cibadak-Nagrak. Di perjalanan, mata kami dimanjakan oleh hijau pepohonan dan sawah-sawah yang membentang. Bahkan kami harus berjalan lumayan lama di pematang sawah, naik turun jalanan tanah yang licin jika hujan saat kami bersilaturahim ke rumah buyut kami.

Rumah buyut berbentuk rumah panggung yang berdindingkan bilik (anyaman bambu), ruang tamu nya jarang ditempati, begitu masuk ke ruang keluarga di sebelah kanan ada kamar buyut kami yang sudah pikun. Tak lagi mengenal satu per satu keluarga yang datang berkunjung.

Setelah melewati ruang keluarga dan ruang makan, belok ke kanan ada ruangan yang berjendelakan kawat, dari ruangan itu terlihat kolam yang berisi ikan dan tutut, ada pintu menuju dapur yang luas dan juga tangga kecil menuju ke kolam.

Di dapurnya ada hawu, dan kamar mandi yang baknya terbuat dari batu kali berwarna hitam kelam. Searah dengan dapur adalagi kolam yang ukurannya lebih luas dari kolam dibawah jendela kawat. Terdapat juga WC dengan air pancuran yang bersumber dari kolam.

Setelah mengunjungi rumah buyut, kami mengunjungi rumah kakaknya nenek juga. Cukup jauh, tapi tetap kami tempuh dengan berjalan kaki. Rasanya, saat itu, jalan kaki tak terasa melelahkan.

***

Betapa banyak kenangan, pengalaman dan pelajaran yang nenek berikan. 

Betapa sedikit bakti yang bisa ku curahkan dengan jarak yang begitu jauh terbentang.

Betapa ingin ku berada disana. Mencium aroma melati di dipan, bercampur balsem yang dioleskan di punggung dan kaki nenek, di dalam kamar yang remang-remang saat lampu bohlam ditutup oleh kardus bohlam yang tidak nenek buang...

Kuingin menggenggam dan mencium tangan keriputnya sambil mengucapkan terima kasih atas kasih sayang dan pendidikan yang telah nenek berikan, memohon maaf atas kenakalan dan kurangnya bakti yang bisa kuberikan...

Saat ini, hanya doa yang bisa kulantunkan, semoga Allah senantiasa memberikan kasih sayang, rahmat, rizqi dan kesehatan kepada nenek juga anak cucu nenek yang dengan tulus ikhlas telah menjaga dan merawat nenek...

Baarokallahu fiikum...


Minggu, 04 Oktober 2020

Balapan 40 km/jam

Tertinggal di lampu merah pertama tak membuatku terburu untuk mengejar si jingga. Jalanan di sepanjang rute menuju lampu merah berikutnya pun tidak mulus. Sehingga aku mengendarai si biru dengan hati-hati, berusaha menghindari cekungan tak beraturan yang menghiasi jalanan.

Lampu merah kedua pun terlihat. Penghitung mundurnya membuatku tersenyum bahagia. Kulihat si jingga tak berkutik di belakang kendaraan lainnya. Aku berencana membawa si biru ke arah kanan melewati mobil dan motor yang terdiam menunggu lampu hijau menyala. Sesuai perkiraanku, si biru bisa melewati si jingga tepat di saat lampu kuning menggantikan lampu merah, bahkan menjadi yang pertama meninggalkan lampu merah kedua di rute lomba.

Kami pun tertawa bahagia.

Ku rasa Pembalap Profesional tak akan bisa tertawa selepas ini disaat berhasil menyalip lawannya saat berlomba, karna masih terganjal beban untuk tetap memimpin posisi hingga gelar juara berhasil disandangnya.

Aku tak berniat menjadi juara, tapi bocil yang ku bonceng dan juga bocil yang ada di atas si jingga tak ada yang mau kalah. Jadi dengan santai si biru tetap kulajukan dengan kecepatan di bawah 40km/jam. Saat mendekati gapura, kubiarkan si jingga dengan mudah melewati si biru dari sisi kiri.

Sorak sorai gembira terdengar dari pengendara si jingga.

Memasuki belokan ke kiri pertama setelah melewati gapura, kupacu si biru mendekati si jingga. 

"Jangaaaannnn!" Teriakan itu terdengar, memintaku untuk tidak memenangkan lomba.

Tentu saja aku mengalah, tapi bukan untuk kalah. Kuatur kecepatan si biru agar kami bisa memasuki gerbang mess bersama-sama. Aku pikir itu akan menjadi hasil akhir yang tidak akan mengecewakan para bocil. Tapi kemudian, teteh yang menginjak remaja segera turun dari si biru dan berlari cepat, menjadi yang pertama masuk kedalam rumah. 

Dan bocil di motor jingga pun kecewa...

Dia turun, merajuk, dengan mata berkaca menyembunyikan diri dibawah selimut dan bersender ke lemari kaca. Adiknya menyusul, menarik selimut yang sama, tak terima kakaknya "main kemah" sendirian saja.

Menang, kalah atau seri, ternyata endingnya tak jauh beda. Memang butuh waktu untuk menetralisir kenyataan yang tak sesuai harapan. Tapi itu tak membuat kami kapok. Saat ada kesempatan, balapan liar terjadi secara spontan. Rute yang sama tidak lagi menjemukan saat ada tantangan untuk menyalip lawan di tengah perjalanan. 

Tidak mau kalah tentu merupakan hal yang biasa menjangkiti manusia saat usia balita hingga menjelang tutup usia. Namun, akan ada waktu, saat kita menyadari... menikmati perjalanan dengan bahagia, jauh lebih berharga dari sekedar label juara.